PENGALAMAN BATINIYAH
SEORANG CALON BADAL
DENGAN GURU MURSYID
Tulisan ini berdasarkan
penuturan oleh salah seorang Badal Thoriqoh Kholidiyah Naqsyabandiyah di
Pekalongan yaitu Bapak KH. Abdul Hadi
Simbang Wetan yang sekarang sudah almarhum.
Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ’anhu.
Badal pertama Thoriqoh
Kholidiyah Naqsyabandiyah Girikusumo Mranggen Demak Cabang Pekalongan adalah
Bapak KH. Zainudin bin H. Irsyad Simbang
Kulon, asli dari Ketandan atau kakak kandung Bapak Kyai Masyhuri Wiradesa,
yaitu pada masa Kemursyidan Syekh KH. M. Zuhri Zahid (Mbah Zuhri).
Setelah Mbah Zuhri
wafat pada tahun 1979, tongkat kemursyidan diteruskan oleh putra Beliau yaitu Syekh
KH. M. Munif Zuhri dan orang pertama Pekalongan yang dibaiat oleh Beliau yaitu
Bapak Abdul Hadi (Pak Dul) yang waktu itu belum berhaji pada tahun 1984,
pembaiatan bertempat di sebelah selatan pojok Masjid Girikusumo dan sampai
sekarang tempat tersebut masih ada dan tetep digunakan untuk pembaiatan.
Sebenarnya setelah Mbah
Zuhri wafat, kegiatan thoriqoh di Pekalongan sedikit mengalami kerengangan
hubungan dengan Kethoriqotan pusat di Girikusumo Mranggen Demak. Ditambah lagi setelah
satu tahun kemudian satu – satunya Bapak Badal di Pekalongan yaitu Bapak H.
Zainudin juga wafat. Hal ini menambah lemahnya hubungan kethoriqotan Pekalongan
dengan Girikusumo hingga beberapa tahun lamanya karena Bapak Badal selaku penghubung
ke Girikusumo telah tiada.
Selang beberapa tahun
yang lama, akhirnya pada bulan Syawal Pak Dul beserta ibu, Pak H. Absori
beserta Ibu, Saudara Badrodin dan juga Sohibin, berkunjung ke Girikusumo dalam
rangka Badan (berlebaran) sowan kepada Mbah Kyai (Syekh KH. M. Munif
Zuhri). Saking senangnya melihat kedatangan mereka berenam Mbah Kyai langsung
memeluk Pak Dul dan tak lama kemudian mereka berenam diajak Mbah Kyai berziarah
ke makam Mbah Hadi. Di makam tersebut Pak Dul didawuhi untuk menempati tempat
tertentu yaitu agar tidak memasuki kubah makam Mbah Hadi, tetapi cukup di depan
pintu saja karena dianggap kurang sopan dan tidak bertata krama jika sampai
meliwati batas pemakaman Mbah Zuhri dan Mbah Zahid, yang mana Beliau Berdua
juga dimakamkan di area tersebut yaitu di depan Pintu masuk Kubah makam Mbah
Hadi. Dan perintah itu dilakukannya sampai sekarang, tiap kali Pak Dul berziarah
ke makam Mbah Hadi dia tidak berani melanggar perintahnya Mbah Kyai. Dan dari
sinilah awal hubungan kethoriqotan Pekalongan mulai terjalin kembali dengan
Girikusumo.
Setelah hubungan
Kethoriqotan Pekalongan dengan Girikusumo sudah mulai terjalin kembali, Beliau
Mbah Kyai (Syekh KH. M. Munif Zuhri ) sering datang ke Pekalongan dan memikirkan
siapa kira-kira orang yang pas untuk menggantikan tugas-tugas Bapak H. Zainudin
selaku badal di Pekalongan.
Lalu pada hari Sabtu pukul
06.00 pagi, tanggal 13 Muharram tahun 1407 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17
September 1986 Mbah Kyai datang ke Pekalongan, menemui Pak Dul di Simbang
Wetan, lalu Beliau langsung mengajak dia
ke rumah Bapak H. Sardani di Wiradesa.
Didepan kedua orang ini
yaitu Bapak H. Abdul Hadi dan H. Sardani, Mbah Kyai Dawuh : “Aku kebingungan sakwisi Pak Zainudin ora ono, sopo sing ngganteni, lan Aku minang seroyo
karo Bapak (Mbah Zuhri – Abahe Mbah Munif
ingkang sampun sumare) Bapak jawab Sampean Dul (Bapak Abdul Hadi) sing
didawuhi ken ganteni”. Jadi disini Pak Dul dengan dipersaksikan oleh Bapak H. Sardani menerima mandat sebagai Badal untuk
menggantikan tugas – tugas Bapak H. Zainuddin.
Mendengar dawuh
tersebut dengan seketika Pak Dul merasa kaget dan menolak dengan jawaban : “Geh
mboten Pak Kyai, mosok kulo tiang ingkang mlarat lan bodo, kulo isin karo Pak H. Nasri, karo H. Kaukab lan
Ust. Miftah”.
Mbah Kyai : “La
karepmu!!”
Pak Dul : “ Sing pas nggih H. Nasri, opo Ustadz
Miftah”.
Mbah
Kyai : “Oo.. Aku kon milih H. Nasri sing akon kuwe!! Ngono!! Opo iki pas? Sing
akon iki dudu aku Dul..!! Sing akon Bapak, kuwe gelem opo ora?”.
Pak Dul : “ Lah Pak H. Nasri pripun?”
Mbah Kyai : “H. Nasri
urusanku, mengko tak suratane”.
Pak Dul : “Nek ngeten, geh pengestunipun”.
Mbah Kyai : “Lah ngeten”.
Disini ada sesuatu yang
luar biasa. Bapak H. Abdul Hadi baiat kepada Mbah Munif pada tahun 1984 sedangkan
Mbah Zuhri wafat tahun 1979. Secara lahir Mbah Zuhri tidak mengenal Pak Dul akan
tetapi Mbah Zuhri menunjuk dia untuk menjadi badal, bukan H. Nasri, bukan H. Sardani
dan bukan pula Ustadz Miftah yang nyata-nyata mereka bertiga dulu baiatnya
kepada Mbah Zuhri. Hal ini tentu ada sesuatu rahasia (sirri) yang tidak bisa kita ketahui kecuali hanya
Guru Mursyid yang tahu.
Setelah Mbah kyai
memberikan mandat kepada Pak Dul, lalu Beliau memberikan 3 perintah kepada Pak
Dul yang isinya :
1.
Agar
sregep suluk (untuk menyempurnakan pengajiannya, waktu itu dia belum khatam
pengajiannya).
2.
Mencari
jama’ah sebanyak – banyaknya.
3.
Jangan
GR (merasa Gede Rumongso, ojo paling sok).
Akhirnya berkat ketaatan
menjalankan perintah Mbah Kyai, Pak Dul selalu mengikuti suluk di Girikusumo,
dan ketika unggah – unggahan dia selalu diberi unggah – unggahan lebih dari
satu hingga pengajiannya khatam. Dan setelah pengajiannya khatam, beberapa
tahun kemudian Pak Dul menjalani suluk selama 40 hari sendirian di Masjid
Girikusumo.
Kemudian pada lain
waktu Mbah Kyai mengajak Pak Dul berziarah ke maqam Mbah Mansur Popongan Solo, tadinya
Pak Dul mengira hanya diajak berziarah biasa saja ternya itu untuk meneropong
dirinya dari segi batiniyahnya dengan melakukan sowan ke Makam Mbah Mansur bin
Mbah Hadi Girikusumo yang masih kerabat dari Mbah Munif. setelah selesai tahlil
dan do’a Mbah Kyai bertanya :”Kuwe diwehi opo? Kuwe diweruhi opo? Lan kuwe didawuhi
opo? (Karo Mbah Mansur?)”.
Pak Dul jawab : “Aku
disuguh 6 gelas Teeh”.
Mbah Kyai : “Yo wis apik”
Setelah dari Solo lalu
melanjutkan berziarah lagi ke Kadilangu Makam Sunan Kalijaga. Di sini Pak Dul
yang disuruh jadi imam tahlil dan do’a. Setelah selesai berdo’a Mbah Kyai Dawuh
lagi “Kuwe diwehi opo? Kuwe diweruhi opo? (Karo Sunan Kalijaga?)”.
Jawab
Pak Dul : “Kulo diparingi sak bengket tanaman kaleh didawuhi ken ngurip – urip
tanaman meniko”
Mbah Kyai : “Gih sae…., sae…”
Pada lain hari Mbah Kyai
datang lagi ke Pekalongan dan mengajak Pak Dul ziarah ke makam Mbah Joko di
daerah Kendal, ditengah-tengah sedang melakukan ritual ziarah tiba-tiba munculah
bau wangi yang sangat menyengat sekali yaitu bau minyak Gondowangi. Pak Dul
menyangka bau wangi tersebut bersumber dari minyaknya Mbah Kyai, akan tetapi
tak lama kemudian justru Mbah Kyai yang bertanya : “Dul kuwe nganggo minyak
wangi pok?”.
Pak
Dul jawab : “Mboten Pak Kyai, la kulo kinten minyak e Jenengan..”.
Mbah Kyai : “ Ijabah
wis Dul”
Ternyata bau wangi itu
berasal dari maqam Mbah Joko yang memberikan isyarat bahwa pengangatan badal H.
Abdul Hadi (Pak Dul) di restui oleh Mbah Joko. Lalu keduanya pulang ke Pekalongan,
dan di rumah Pak Dul, Mbah Kyai istirahat sebentar, tak lama kemudian Beliau
menyuruh Pak Dul untuk berdiri, balik kanan, balik kiri menghadap ke belakang,
lalu disuruh duduk, dan jongkok. Kemudian Beliau meneropong garis-garis telapak
tangannya Pak Dul dengan menggunakan kaca pembesar (Kaca lup).
Begitulah cara Mbah
Kyai menyeleksi badalnya atas diri Pak Dul, serentetan peristiwa demi
peristiwa, dan ujian demi ujian yang diberikan oleh Mbah Kyai dalam rangka pengankatan badal di Pekalongan.
Dan Mbah Kyai juga pernah dawuh kepada Pak Dul sampai tiga kali dalam waktu
yang berbeda dengan nada yang sangat tegas : “Dul… mati uripe jama’ah
Pekalongan tak pasrahke karo kuwe”.
Tidak hanya itu saja
pada saat Tawajuhan di Baros Pak Dul juga Kedawuhan Mbah Kyai agar selalu
berziarah ke Makam Habib Ahmad Sapuro Pekalongan. Ketika Pak Dul bertanya kapan
waktunya, Mbah Kyai dawuh, Setiap malam agar berziarah. Dan perintah ini dilaksanakan
oleh Pak Dul selama satu tahun. Dan setelah itu Mbah Kyai mengganti perintahnya
agar berziarah ke makam Habib Ali bin Ahmad Sapuro setiap seminggu sekali. Dan
perintah ini masih tetap dia laksanakan hingga sekarang yaitu tiap malam Kamis.
Dari sini maka semua
tugas kebadalan menjadi tanggung jawabnya Pak Dul yaitu sejak tahun 1986 M.
namun waktu itu masih ada Bapak H. Nasri dan H. Sardani selaku sesepuh jama’ah.
Maka sebagai bentuk sikap menghormati kepada Beliau berdua Pak Dul mewakilkan
tugas nawajuhi dipasrahkan kepada Beliau berdua sedangkan Pak Dul sendiri
mengurusi bagian lapangan, mencari dan menata orang yang akan baiat dan mengatur
jalannya kegiatan jamaah di Pekalongan.
*****
Alhmd Lillah.... kulo saget ... nimbo pengalaman .....
BalasHapus