Rabu, 15 Februari 2017

Salah satu cara Guru Mursyid menyeleksi muridnya untuk diangkat menjadi Badal

PENGALAMAN BATINIYAH SEORANG CALON BADAL
DENGAN GURU MURSYID


Tulisan ini berdasarkan penuturan oleh salah seorang Badal Thoriqoh Kholidiyah Naqsyabandiyah di Pekalongan  yaitu Bapak KH. Abdul Hadi Simbang Wetan yang sekarang sudah almarhum.  Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ’anhu.

Badal pertama Thoriqoh Kholidiyah Naqsyabandiyah Girikusumo Mranggen Demak Cabang Pekalongan adalah Bapak KH. Zainudin bin H. Irsyad  Simbang Kulon, asli dari Ketandan atau kakak kandung Bapak Kyai Masyhuri Wiradesa, yaitu pada masa Kemursyidan Syekh KH. M. Zuhri Zahid (Mbah Zuhri).
Setelah Mbah Zuhri wafat pada tahun 1979, tongkat kemursyidan diteruskan oleh putra Beliau yaitu Syekh KH. M. Munif Zuhri dan orang pertama Pekalongan yang dibaiat oleh Beliau yaitu Bapak Abdul Hadi (Pak Dul) yang waktu itu belum berhaji pada tahun 1984, pembaiatan bertempat di sebelah selatan pojok Masjid Girikusumo dan sampai sekarang tempat tersebut masih ada dan tetep digunakan untuk pembaiatan.

Sebenarnya setelah Mbah Zuhri wafat, kegiatan thoriqoh di Pekalongan sedikit mengalami kerengangan hubungan dengan Kethoriqotan pusat di Girikusumo Mranggen Demak. Ditambah lagi setelah satu tahun kemudian satu – satunya Bapak Badal di Pekalongan yaitu Bapak H. Zainudin juga wafat. Hal ini menambah lemahnya hubungan kethoriqotan Pekalongan dengan Girikusumo hingga beberapa tahun lamanya karena Bapak Badal selaku penghubung ke Girikusumo telah tiada.
Selang beberapa tahun yang lama, akhirnya pada bulan Syawal Pak Dul beserta ibu, Pak H. Absori beserta Ibu, Saudara Badrodin dan juga Sohibin, berkunjung ke Girikusumo dalam rangka Badan (berlebaran) sowan kepada Mbah Kyai (Syekh KH. M. Munif Zuhri). Saking senangnya melihat kedatangan mereka berenam Mbah Kyai langsung memeluk Pak Dul dan tak lama kemudian mereka berenam diajak Mbah Kyai berziarah ke makam Mbah Hadi. Di makam tersebut Pak Dul didawuhi untuk menempati tempat tertentu yaitu agar tidak memasuki kubah makam Mbah Hadi, tetapi cukup di depan pintu saja karena dianggap kurang sopan dan tidak bertata krama jika sampai meliwati batas pemakaman Mbah Zuhri dan Mbah Zahid, yang mana Beliau Berdua juga dimakamkan di area tersebut yaitu di depan Pintu masuk Kubah makam Mbah Hadi. Dan perintah itu dilakukannya sampai sekarang, tiap kali Pak Dul berziarah ke makam Mbah Hadi dia tidak berani melanggar perintahnya Mbah Kyai. Dan dari sinilah awal hubungan kethoriqotan Pekalongan mulai terjalin kembali dengan Girikusumo.
Setelah hubungan Kethoriqotan Pekalongan dengan Girikusumo sudah mulai terjalin kembali, Beliau Mbah Kyai (Syekh KH. M. Munif Zuhri ) sering datang ke Pekalongan dan memikirkan siapa kira-kira orang yang pas untuk menggantikan tugas-tugas Bapak H. Zainudin selaku badal di Pekalongan.
Lalu pada hari Sabtu pukul 06.00 pagi, tanggal 13 Muharram tahun 1407 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17 September 1986 Mbah Kyai datang ke Pekalongan, menemui Pak Dul di Simbang Wetan, lalu Beliau langsung  mengajak dia ke rumah Bapak H. Sardani di Wiradesa.
Didepan kedua orang ini yaitu Bapak H. Abdul Hadi dan H. Sardani, Mbah Kyai Dawuh : “Aku kebingungan sakwisi Pak Zainudin ora ono, sopo sing ngganteni, lan Aku minang seroyo karo Bapak (Mbah Zuhri – Abahe Mbah Munif  ingkang sampun sumare) Bapak jawab Sampean Dul (Bapak Abdul Hadi) sing didawuhi ken ganteni”. Jadi disini Pak Dul dengan dipersaksikan oleh Bapak H. Sardani menerima mandat sebagai Badal untuk menggantikan tugas – tugas Bapak H. Zainuddin.
Mendengar dawuh tersebut dengan seketika Pak Dul merasa kaget dan menolak dengan jawaban : “Geh mboten Pak Kyai, mosok kulo tiang ingkang mlarat lan bodo,  kulo isin karo Pak H. Nasri, karo H. Kaukab lan Ust. Miftah”.
Mbah Kyai : “La karepmu!!”
Pak Dul      : “ Sing pas nggih H. Nasri, opo Ustadz Miftah”.
Mbah Kyai : “Oo.. Aku kon milih H. Nasri sing akon kuwe!! Ngono!! Opo iki pas? Sing akon iki dudu aku Dul..!! Sing akon Bapak, kuwe gelem opo ora?”.
Pak Dul      : “ Lah Pak H. Nasri pripun?”
Mbah Kyai : “H. Nasri urusanku, mengko tak suratane”.
Pak Dul      : “Nek ngeten, geh pengestunipun”.
Mbah Kyai : “Lah ngeten”.
Disini ada sesuatu yang luar biasa. Bapak H. Abdul Hadi baiat kepada Mbah Munif pada tahun 1984 sedangkan Mbah Zuhri wafat tahun 1979. Secara lahir Mbah Zuhri tidak mengenal Pak Dul akan tetapi Mbah Zuhri menunjuk dia untuk menjadi badal, bukan H. Nasri, bukan H. Sardani dan bukan pula Ustadz Miftah yang nyata-nyata mereka bertiga dulu baiatnya kepada Mbah Zuhri. Hal ini tentu ada sesuatu rahasia (sirri)  yang tidak bisa kita ketahui kecuali hanya Guru Mursyid yang tahu.
Setelah Mbah kyai memberikan mandat kepada Pak Dul, lalu Beliau memberikan 3 perintah kepada Pak Dul yang isinya :
1.     Agar sregep suluk (untuk menyempurnakan pengajiannya, waktu itu dia belum khatam pengajiannya).
2.     Mencari jama’ah sebanyak – banyaknya.
3.     Jangan GR (merasa Gede Rumongso, ojo paling sok).
Akhirnya berkat ketaatan menjalankan perintah Mbah Kyai, Pak Dul selalu mengikuti suluk di Girikusumo, dan ketika unggah – unggahan dia selalu diberi unggah – unggahan lebih dari satu hingga pengajiannya khatam. Dan setelah pengajiannya khatam, beberapa tahun kemudian Pak Dul menjalani suluk selama 40 hari sendirian di Masjid Girikusumo.
Kemudian pada lain waktu Mbah Kyai mengajak Pak Dul berziarah ke maqam Mbah Mansur Popongan Solo, tadinya Pak Dul mengira hanya diajak berziarah biasa saja ternya itu untuk meneropong dirinya dari segi batiniyahnya dengan melakukan sowan ke Makam Mbah Mansur bin Mbah Hadi Girikusumo yang masih kerabat dari Mbah Munif. setelah selesai tahlil dan do’a Mbah Kyai bertanya :”Kuwe diwehi opo? Kuwe diweruhi opo? Lan kuwe didawuhi opo? (Karo Mbah Mansur?)”.
Pak Dul jawab : “Aku disuguh 6 gelas Teeh”.
Mbah Kyai : “Yo wis apik”
Setelah dari Solo lalu melanjutkan berziarah lagi ke Kadilangu Makam Sunan Kalijaga. Di sini Pak Dul yang disuruh jadi imam tahlil dan do’a. Setelah selesai berdo’a Mbah Kyai Dawuh lagi “Kuwe diwehi opo? Kuwe diweruhi opo? (Karo Sunan Kalijaga?)”.
Jawab Pak Dul : “Kulo diparingi sak bengket tanaman kaleh didawuhi ken ngurip – urip tanaman meniko”
Mbah Kyai : “Gih sae…., sae…”
Pada lain hari Mbah Kyai datang lagi ke Pekalongan dan mengajak Pak Dul ziarah ke makam Mbah Joko di daerah Kendal, ditengah-tengah sedang melakukan ritual ziarah tiba-tiba munculah bau wangi yang sangat menyengat sekali yaitu bau minyak Gondowangi. Pak Dul menyangka bau wangi tersebut bersumber dari minyaknya Mbah Kyai, akan tetapi tak lama kemudian justru Mbah Kyai yang bertanya : “Dul kuwe nganggo minyak wangi pok?”.
Pak Dul jawab : “Mboten Pak Kyai, la kulo kinten minyak e Jenengan..”.  
Mbah Kyai : “ Ijabah wis Dul”
Ternyata bau wangi itu berasal dari maqam Mbah Joko yang memberikan isyarat bahwa pengangatan badal H. Abdul Hadi (Pak Dul) di restui oleh Mbah Joko. Lalu keduanya pulang ke Pekalongan, dan di rumah Pak Dul, Mbah Kyai istirahat sebentar, tak lama kemudian Beliau menyuruh Pak Dul untuk berdiri, balik kanan, balik kiri menghadap ke belakang, lalu disuruh duduk, dan jongkok. Kemudian Beliau meneropong garis-garis telapak tangannya Pak Dul dengan menggunakan kaca pembesar (Kaca lup).
Begitulah cara Mbah Kyai menyeleksi badalnya atas diri Pak Dul, serentetan peristiwa demi peristiwa, dan ujian demi ujian yang diberikan oleh  Mbah Kyai  dalam rangka pengankatan badal di Pekalongan. Dan Mbah Kyai juga pernah dawuh kepada Pak Dul sampai tiga kali dalam waktu yang berbeda dengan nada yang sangat tegas : “Dul… mati uripe jama’ah Pekalongan tak pasrahke karo kuwe”.
Tidak hanya itu saja pada saat Tawajuhan di Baros Pak Dul juga Kedawuhan Mbah Kyai agar selalu berziarah ke Makam Habib Ahmad Sapuro Pekalongan. Ketika Pak Dul bertanya kapan waktunya, Mbah Kyai dawuh, Setiap malam agar berziarah. Dan perintah ini dilaksanakan oleh Pak Dul selama satu tahun. Dan setelah itu Mbah Kyai mengganti perintahnya agar berziarah ke makam Habib Ali bin Ahmad Sapuro setiap seminggu sekali. Dan perintah ini masih tetap dia laksanakan hingga sekarang yaitu tiap malam Kamis.
Dari sini maka semua tugas kebadalan menjadi tanggung jawabnya Pak Dul yaitu sejak tahun 1986 M. namun waktu itu masih ada Bapak H. Nasri dan H. Sardani selaku sesepuh jama’ah. Maka sebagai bentuk sikap menghormati kepada Beliau berdua Pak Dul mewakilkan tugas nawajuhi dipasrahkan kepada Beliau berdua sedangkan Pak Dul sendiri mengurusi bagian lapangan, mencari dan menata orang yang akan baiat dan mengatur jalannya kegiatan jamaah di Pekalongan. 


*****

1 komentar: